𝐒𝐔𝐙𝐔 @duskystrings

⠀ Peta itu memang tersobek, tetapi semangat yang tumbuh di lapangan kecil itu utuh—bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Tetapi, dengan itu, masalah berikutnya adalah: mereka harus memperbaiki peta yang sobek. @vernaldusk ⠀

⠀ “Tak apa. Peta ini bisa kami perbaiki. Sama seperti huruf yang salah bisa kita tulis ulang, atau kata yang sulit bisa kita pelajari kembali,” ucap Ryuka, mencoba menenangkan suasana. Ketegangan mereda. Anak-anak tersenyum lega, lalu kembali bersemangat. ⠀

⠀ Anak-anak lainnya segera mengadukan apa yang terjadi, membuat isakan tangisannya semakin kencang. “Astaga, maafkan Mari-chan,” ucap sang ibu. Keempat penyihir muda itu kemudian mencoba menenangkan keduanya. ⠀

⠀ Pelupuk mata anak yang menarik peta tersebut sudah dipenuhi air, siap ditumpahkan kapan saja. Suzu menghela nafas pelan, lalu tersenyum kecil. “Tak apa—” “WAAAAAAAA…” Benar. Anak itu menangis kencang, membuat ibunya berlari menghampiri. ⠀

⠀ Suara robekan itu membuat semua terdiam sejenak. Suzu mematung karena terkejut, Jun bergegas menahan bagian yang terlepas, sementara anak-anak menatap dengan wajah cemas, takut karena telah melakukan kesalahan. ⠀

⠀ Ia menunjuk tulisan “Aokiri” di pojok peta. Anak-anak mencoba mengejanya bersama. Namun, di tengah keriuhan itu, sebuah tangan kecil menarik terlalu keras. Kertas peta yang rapuh tersobek, retakan panjang membelah antara jalan-jalan penting. ⠀

⠀ Jun, Reika dan Ryuka kembali membantu anak-anak lain dengan sabar, sementara Suzu mengambil peta Aokiri yang mereka bawa untuk diperlihatkan. “Lihat,” kata Suzu, menggelar peta itu di atas tikar bambu. “Inilah desa kalian. Dan sekarang, kalian sudah bisa membaca namanya.” ⠀

⠀ Anak-anak bersorak kecil setiap kali mereka berhasil membaca dan menulis satu kata, beberapa di antara mereka berlari untuk menunjukkan papan mereka kepada orang tua mereka ketika menuliskan ayah dan ibu. Pemandangan tersebut menghangatkan hati keempat sahabat itu. ⠀

⠀ Bahkan Toma, yang sebelumnya diselimuti keraguan, kini mendekat untuk melihat lebih jelas. Bibirnya bergetar, bergerak kecil menggumamkan huruf-huruf itu. Pelajaran berlanjut. Kata-kata sederhana mulai terbentuk: “air”, “api”, “ibu”, dan “ayah”. ⠀

⠀ Mereka tak ingin terlibat, tetapi juga tak melarang tumbuh kembang generasi berikutnya. “Bagus sekali, Hinata-chan!” seru Ryuka dan Suzu bersamaan, mereka semua bertepuk tangan. Anak-anak lain tertawa riang, lalu mulai berani untuk mencoba. ⠀

⠀ “Haaa’i! A… I… U…” jeda Hinata, “Eee… Oh..!” Suaranya sedikit bergetar, tetapi setiap huruf yang ia sebutkan menjadi semacam nyala api kecil yang menghangatkan hati semua yang hadir, termasuk para orang tua yang hanya menatap dari kejauhan. ⠀

⠀ Suasana kelas menjadi riuh. Tangan kecil Hinata terangkat paling cepat, matanya berbinar penuh antusiasme. Kegugupan yang Suzu rasakan mencair seketika. “Baiklah. Mari, Hinata-chan!” ajak Suzu. Binar itu belum meninggalkan kedua manik sang anak. ⠀

⠀ Ketiganya berpencar mengelilingi anak-anak untuk membantu mereka dari dekat. Murid-murid kecil mereka kini mencoba meniru suara tersebut. “Nah,” ucap Suzu, “sekarang, siapa yang mau membacakannya untuk kami?” ⠀

⠀ Raut wajahnya menjadi cerah di hadapan anak-anak. Kemudian, ia mengambil alat tulisnya lalu menuliskan huruf-huruf hiragana sederhana di papan kayu: A, I, U, E, O. Jun, Reika, dan Ryuka membantu menyebutkan huruf itu dengan lantang. ⠀

⠀ “Terima kasih banyak, Jun. Tolong bantu aku nanti, ya,” ucap gadis itu, sebelum beranjak dan berjalan ke tengah-tengah lapangan. Ia menarik nafas dalam sebelum mengembalikan keceriaannya. “Anak-anak, ayo berkumpul di tengah dan duduk melingkar!” seru Suzu. ⠀

⠀ Pria itu menghampiri Suzu, menggenggam tangannya dan mengusapnya dengan ibu jari. “Jangan khawatir, kamu pasti bisa. Ada aku dan yang lain jika kamu mengalami kesulitan,” ucapnya, tenang. Suzu mengangguk, tersenyum kecil. ⠀

⠀ Dirinya akan mengajar—sesuatu yang tak pernah benar-benar ia lakukan dalam skala sebesar ini. Gadis itu memainkan jarinya, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang menyelimutinya. Tetapi, tentu saja, Jun menyadarinya. ⠀

⠀ “Wah, ada yang salting disenyumin anak-anak. Wajib dilaporkan ke Aniki saya,” canda Jun, yang kemudian disambut oleh sebuah tepokan ringan yang melayang dari tangan perempuan bercepol itu. Ryuka, Reika dan Jun tertawa, sementara di sisi lain, Suzu dipenuhi rasa gelisah. ⠀

⠀ Ia seolah belum yakin dengan keputusannya untuk membantu. Namun, ketika Reika menyapanya, ia hanya mengangguk dan tersenyum kecil—senyuman yang percaya akan ketulusan dan niat baik keempat murid Mahoutokoro itu. “Ih, bocil itu tersenyum ke arahku!” pekik Reika, senang. ⠀

⠀ Bendera-bendera sederhana digantung oleh anak-anak, bunga liar ditaruh di sudut-sudut, dan papan-papan kayu yang dibuat oleh Toma, salah satu anak desa, berdiri rapi—menunggu untuk dipenuhi huruf. Toma berdiri agak jauh dengan raut wajah setengah gugup. ⠀